Saudara-Saudara,
saya pernah membaca sebuah cerita dongeng dari negeri Tiongkok. Alkisah
ada orang tua yang memiliki tujuh orang anak kembar. Setiap anak
diberikan kekuatan ajaib oleh orang tuanya. Ada yang memiliki kekuatan
api, tanah, air, angin dan lain sebagainya. Suatu kali orang tuanya
memberikan suatu tugas khusus kepada anak-anak-Nya.
Untuk menyelesaikan
tugas ini, mereka harus bekerja sama dan menggunakan kekuatan mereka
masing-masing. Sebelum menyelesaikan tugas tersebut, menguji coba dulu
kekuatan mereka. Masing-masing menunjukkan kekuatan mereka. Ketika
melihat saudara kembarnya yang lain, yang satu mulai berpikir bahwa
kekuatan dirinyalah yang lebih baik dari yang lain. Kemudian
masing-masing menganggap diri mereka lebih unggul dari yang lainnya.
Mereka mulai memandang negatif saudara kembar yang lainnya. Mereka mulai
adu kekuatan dan saling melukai. Mereka sibuk dengan urusan
mereka sendiri dan melupakan tugas yang diberikan oleh orang tuanya yang
harus mereka kerjakan bersama-sama.
Saudara-Saudara,
ketujuh anak kembar ini lupa bahwa mereka adalah saudara kembar, yang
mempunyai orang tua yang sama. Kekuatan yang berasal dari orang tua
mereka. Mereka juga lupa untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebenarnya di
mana letak permasalahannya sehingga mereka bisa melupakan semuanya itu?
Masalahnya berawal ketika ketujuh anak kembar ini memiliki pikiran
bahwa diri mereka sendirilah yang paling hebat. Ketika mereka mulai
mengeksklusifan diri mereka.
Saudara-Saudara,
dari cerita ini, kita bisa menarik sesuatu yang baik, bahwa dengan
mengeksklusifkan diri itu dapat menimbulkan masalah. Kita harus waspada
karena kita bisa saja terjebak pada pemikiran yang sama, bahwa bisa saja
kita menganggap bahwa saya atau kelompok saya lebih baik dari yang
lain. Cerita ketujuh anak kembar ini ingin menyampaikan masalah
moralitas saja. Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.
John
dan Andy bersahabat sejak kecil. Saat mereka remaja, pecahlah perang
dunia kedua. Mereka berdua harus ikut wajib militer. Mereka ditugaskan
di garis depan medan perang. Pada suatu pagi yang berkabut, kapten
mereka memimpin mereka untuk menyerang markas musuh. Namun, sinar
matahari telah menghapus kabut itu sebelum mereka sampai di dekat markas
musuh. Mereka pun langsung terlihat oleh musuh. Musuh segera menembak
mereka secara membabi buta. Mereka kemudian berusaha lari
menyelamatkan diri, termasuk John dan Andy. Sesampainya di markas,
ternyata John tidak ada. Andy segera meminta ijin kepada kaptennya
untuk mencari Andy di daerah musuh. Tentu saja kapten itu menolak
karena itu sangat berbahaya. Bisa jadi John juga telah meninggal.
Namun, Andy tidak menghiraukan larangan kaptennya. Ia pergi mencari
John.
Setengah jam kemudian Andy kembali dengan berlumuran darah. Sang
kapten pun marah besar dan berkata: “Apa kubilang, John sudah mati dan
kau pun tertembak. Sungguh sia-sia” Andy berkata: “Tidak sia-sia,
karena aku mendengar kata-kata terakhirnya” Karena penasaran, sang
kapten bertanya lagi” “Memangnya apa yang ia katakan sampai kau rela
mempertaruhkan nyawamu?”
John berkata: “Saya tahu kau pasti akan
kembali mencariku, aku mengasihimu sahabatku” Dia mengatakannya sambil
tersenyum puas. Oleh karena kasihnya kepada John, Andy rela
mempertaruhkan nyawanya untuk mencari sahabatnya ini. Memang usaha Andy
ini tampaknya sia-sia karena Andy tertembak dan John meninggal. Namun,
sebenarnya hal ini tidak sia-sia karena sampai akhir hidupnya, John
melihat bahwa Andy, sahabatnya ini tetap mengasihi dia.
Ada
dua orang pria yang bersahabat. Mereka bernama Albert Durer dan Hans.
Mereka ingin sekali masuk ke sekolah seni lukis dan pahat. Masalahnya,
mereka tidak mempunyai uang. Kemudian Hans mempunyai ide untuk
mengatasi masalah tersebut. Hans akan bekerja untuk membiayai kuliah
Albert. Nanti setelah Albert lulus dan menjadi pelukis, maka Albert
yang akan membiayai kuliah Hans. Hans bekerja sebagai kuli bangunan.
Lalu Albert masuk ke sekolah seni lukis dan pahat. Tahun demi tahun pun
berlalu. Akhirnya Albert lulus dari sekolahnya. Dengan penuh
semangat, ia pergi ke rumah Hans.
Ketika tiba di rumah Hans, ia mengetuk pintu berulangkali, namun tidak
ada jawabannya. Lalu Albert mengintip dari jendela. Apa yang
dilihatnya? Ternyata Hans sedang berlutut. Kedua belah tangan
sahabatnya itu mengarah ke atas. Hans sedang berdoa sambil menangis:
“Oh Tuhan, tanganku ini. Tanganku sudah menjadi kaku dan kasar.
Tanganku sudah tidak bisa dipakai untuk melukis. Biarlah Albert saja
yang menjadi pelukis.” Ternyata pekerjaan Hans sebagai seorang kuli
bangunan telah membuat tangannya menjadi kaku dan kasar. Ia tidak
mungkin menjadi pelukis lagi. Apa yang dilakukan Hans ini tentunya
tidak bisa dilupakan Albert seumur hidupnya. Itulah sebabnya, Albert
mengabadikan kasih dan pengorbanan sahabatnya ini dengan membuat suatu
lukisan yang diberi nama “Tangan Berdoa” atau Praying Hand yang sangat terkenal itu.
Saudara-saudara, tentunya kita ingin memiliki sahabat seperti Hans.
Seorang sahabat yang penuh kasih dan rela berkorban bagi kita. Mungkin
kita juga ingin supaya kita menjadi sahabat yang terbaik bagi sahabat
kita. Persahabatan antara Albert dan Hans adalah satu dari sekian
banyak contoh persahabatan sejati yang kita dambakan. Namun, bagaimana
caranya agar persahabatan ini dapat kita miliki? Persahabatan sejati
membutuhkan dasar yang kokoh. Itulah sebabnya, kita perlu tahu bahwa persahabatan sejati dalam hidup orang percaya adalah persahabatan yang berdasarkan kasih dan kesetiaan.
Saudara-saudara, perikop yang baru saja kita baca ini juga merupakan
kisah persahabatan sejati dalam Alkitab. Kisah ini mirip dengan persahabatan Daud dan Yonatan di 1 Samuel 18:1-.
.
Ilustrasi
Bertahun-tahun
yang silam, seorang pemuda dengan kekasihnya datang ke pantai di malam
hari untuk saling berpisah. Sang pemuda hendak berlayar ke negeri yang
jauh di seberang lautan dan mengadu nasib. Ia mengumpulkan kayu bakar,
menyalakan api unggun dan membicarakan rencana mereka. Ia berjanji
ketika ia kembali nanti, ia akan mengambil kekasihnya sebagai isteri.
Kemudian sang pemuda meminta kekasihnya untuk menyanyikan lagu
kesayangan mereka, lagu cinta yang yang amat mereka sukai. Setelah
saling berucap janji setia untuk menanti, ia meminta kekasihnya untuk
menyanyikan lagu itu satu kali lagi. Ia berkata, “Aku akan kembali
untukmu, dan aku akan membawamu ke sebuah rumah yang indah di pulau nan
jauh di sana ke mana aku akan pergi. Tapi sementara aku jauh darimu,
aku akan kesepian, mungkin putus asa, dan setiap hari di waktu seperti
ini, aku akan memikirkanmu dan mengingat kembali malam perpisahan ini.
Kemudian aku akan kembali di waktu yang sama seperti sekarang, dan
ketika aku melihat api unggunmu dan mendengar nyanyianmu, aku tahu bahwa
kamu telah setia dan tekun menanti.” Dengan bercucuran air mata, sang
gadis berjanji dan sambil mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir
kalinya, sang pemuda naik ke kapal dan berlayar di tengah gelapnya
malam. Ia pergi jauh untuk mengadu nasib dan entah apa yang akan ia
dapat.
Keesokan
malamnya, sesuai dengan janji, sang gadis datang ke pantai itu. Ia
berdiri di sisi api unggun dan menyanyikan lagu mereka sambil memikirkan
dengan lembut kekasihnya yang telah pergi di kejauhan laut. Malam demi
malam ia memegang janjinya. Bulan-bulan pun berlalu, kemudian tahun
demi tahun, tapi setiap malam ia berdiri di samping api unggun dan
menyanyikan lagu cinta mereka. Teman-temannya menasehati agar ia
berhenti datang ke pantai dan mencari orang lain. Mereka mengatakan
bahwa tentulah sang pemuda telah lupa akan janjinya dan tidak akan
pernah kembali. Tapi sang gadis memiliki keyakinan yang kokoh pada
kekasihnya. “Ia telah berjanji, maka ia pasti akan kembali untukku,”
kata sang gadis. Jumlah tahun yang banyak telah mengukir jejaknya di
wajah dan rambut sang wanita, tapi tetap, kekasihnya tak kunjung datang.
Suatu
malam, lebih semangat dari biasa, sang wanita datang ke tempat biasa di
malam hari. Harapan telah pupus rasanya, tapi dalam hatinya ia tahu
bahwa ia harus setia. Api meredup tertiup angin pantai, dan iapun
mengumpulkan kayu bakar sekali lagi. Ia menyanyikan kembali lagu yang
telah dinyanyikan ribuan kali. Ketika ia hendak pulang ke rumahnya, ia
mendengar suara dayuhan kapal di kejauhan. Mungkin seorang nelayan yang
pulang malam. Tapi pengharapan cinta wanita ini membuatnya gigih, ia
menyalakan api yang baru sekali lagi, dan sekali lagi menanyikan lagu
cinta mereka. Kapal itu mendekat dan semakin mendekat. Dan pemuda itu
yang juga telah menjadi tua datang. Ia turun dari kapal dan mengenggam
tangan kekasihnya, “Aku telah menunggu untuk melihat apimu dan mendengar
lagu kita,” ia berkata. “Dan aku tahu, engkau dengan siap sedia
senantiasa menanti. Marilah kita pergi ke rumah indah yang telah
kubangun untukmu di seberang sana.”
Sang
wanita menanti dengan siap sedia, karena ia melakukan apa yang
diinginkan oleh kekasihnya. Ia menyalakan api dan menyanyikan lagu
mereka. melakukan apa yang diinginkan kekasihnya karena ia mengenal
kekasihnya. Sebagai orang Kristen, kita juga sedang menantikan Kekasih
kita. Dalam penantian itu, dibutuhkan lebih dari sekadar penantian
pasif, yaitu sebuah kesiap-sediaan. Untuk dapat siap sedia, kita harus
tahu apa yang Ia inginkan ketika Ia mendapati kita? Demi mengetahuinya,
kita harus mengenal Dia.
Ilustrasi: Berkat atau Kutuk
Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua
orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja
menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah di lihat begitu
kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.
Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua
itu selalu menolak, "Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia
adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah
sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat." Orang
itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tetap tidak menjual kuda itu.
Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa
datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia, "sudah kami
katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah peringatkan bahwa
kamu akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi
binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh
minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan di bayar juga. Sekarang
kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan."
Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa
kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya
adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat
ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?"
Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita
bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta
sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan."
Orang tua itu berbicara lagi, "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu
kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan
atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah
sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?"
Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang
selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan
hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu
miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu
menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak
lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia
betul-betul tolol.
Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke
dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda
liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang
potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang
kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami."
Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa
kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia,
tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda
hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh
cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari
sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu
kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan?
Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu
halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu
adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya
tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."
"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi
mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah.
Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda.
Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian
dijual untuk banyak uang.
Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai
menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari
salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul
sekitar orang tua itu dan menilai.
"Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin
kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah
kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk
membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi."
Orand tua itu berbicara lagi, "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk
menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah
kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya
mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."
Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri
tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak
si orang tua tidak diminta karena ia sedang terluka. Sekali lagi orang
berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena
anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan
mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh.
Mereka mungkin tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.
"Kamu benar, orang tua," mereka menangis, "Tuhan tahu kamu benar. Ini
membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi
paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya".
Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian.
Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini:
anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang
tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk
mengetahui. Hanya Allah yang tahu."
* * * *
Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian.
Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman
dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus
simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui
seluruh cerita.
Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya.
Mungkin dari tukang kayu lain di Galelia. Sebab tukang kayu itulah yang
paling baik mengungkapkannya:
"Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai
kesusahannya sendiri."
Ia adalah yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab
yang terakhir. (In The Eye of The Storm - Max Lucado)