Kamis, 08 November 2012
The
trip from Parapat to Muara Nauli takes about 3 hours. The road is
narrow. So the big bus can't pass by this road. There is a small
airport, Silangit Airport, which located not far from Muara Nauli. It
takes about a half hour by flight from Polonia Airport to Silangit
Airport. Of course the trip is faster by air than by land.
The fatigue during the long trip by minivan went away when we see the beautiful scenery along the road. In Muara Nauli, the scenery is more amazing. The nature and the air were still natural, fresh and beautiful. In Muara Nauli, there is a hotel. named Sentosa Lake Resort. It is a new hotel, the room is big and clean, the staff is very friendly and behind this hotel is Toba Lake. So, you can swim in here, the Lake was clean and the water is transparent and cool in the morning.
The fatigue during the long trip by minivan went away when we see the beautiful scenery along the road. In Muara Nauli, the scenery is more amazing. The nature and the air were still natural, fresh and beautiful. In Muara Nauli, there is a hotel. named Sentosa Lake Resort. It is a new hotel, the room is big and clean, the staff is very friendly and behind this hotel is Toba Lake. So, you can swim in here, the Lake was clean and the water is transparent and cool in the morning.
PESTA BATAK: KAPANKAH DERITA INI BERAKHIR? :-)
Sebagai seorang pendeta di gereja yang anggotanya mayoritas mutlak
Batak, dan sebagai laki-laki Batak yang sudah menikah, tidak bisa tidak,
saya seringkali menerima undangan untuk menghadiri pesta adat batak
khususnya pernikahan. Namun jujur, saban-saban menerima undangan saya
selalu menarik nafas dan membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan
datang (walau telat atau sekadar setor muka sesaat, atau memilih hanya
hadir di pemberkatan di gereja saja). Kalau saya tidak datang, apalah
nanti kata orang. Masa pendeta tidak datang ke pesta anggota jemaatnya
apalagi saudaranya (catatan: istilah saudara di batak seperti tali
jemuran di kampung yang bisa sangat panjang dan berbelit-belit). Tapi
kalau datang, saya tidak sanggup lagi menghadapi suasana bising dan
berisik, kepala saya pusing dan saya selalu kehilangan nafsu makan bila
sambil makan dibombardir teriakan 2(dua) protokol dari dua pihak yang
entah kenapa selalu berbicara pada saat yang sama. Belum lagi ditambah
suara musik dan lagu yang memekakkan telinga (perasaan saya mik itu
“dibondut” oleh si penyanyi dan volume soundystem disetel
sekeras-kerasnya). Saya suka menuduh dalam hati kayaknya si penyanyi
sengaja menyanyi kuat-kuat agar saya tidak bisa lagi ngobrol asyik
dengan teman yang duduk dekat saya padahal reuni itulah selalu jadi
tujuan kedua (kadang pertama) saya datang ke pesta. Sebab itu bila
datang ke pesta, saya selalu mencari meja yang jauh dari speaker, tetapi
“sedihnya” seringkali speaker itu ada dimana-mana. Kalaupun tempat yang
bebas dari gangguan speaker hitam itu ada, maka tempat itu begitu
tersembunyi dan jauh dari pelayan apalagi dari menu khusus di botol2
hijau yang entah kenapa beredar terbatas di meja-meja “raja-raja” adat.
Namun penderitaan saya belum komplit. Seringkali
pesta batak itu baru mulai makan sesudah pukul 1 atau bahkan 2 siang,
karena para hula-hula dan tulang masih harus disambut dengan manortor.
Pihak suhut akan berjalan mundur dengan penari bayaran dengan tangan
dikatup menyembah, sementara rombongan hula-hula akan berjalan gagah
dengan ikan mas bergoyang-goyang di depannya. Biasanya pada momen ini
saya akan termenung sendiri mengingat ibu saya yang sudah berusia 79
tahun dan memilih menyepi di Cibinong dan hampir tidak mau lagi
menghadiri pesta pernikahan. Saya tahu betul dia sangat tidak suka
pemandangan itu. Menurut ibu saya yang uzur itu adat yang benar: ikan
mas pemberian hula2 harus dimasukkan ke tandok (sumpit pandan) dialasi
nasi dan dijunjung santun di atas kepala, bukan dipamer-pamerkan
telanjang. Dan penari2 bayaran itu benar-benar tidak masuk ke akalnya.
Ya sudahlah. Jaman berubah. Ibu saya kalah. Namun saya akan senyum
sendiri membayangkan bagaimana seandainya Raja Salomo yang diceritakan
Alkitab punya istri 1000 orang berpesta atau mar-ulaon dan harus
manortor maju-mundur menyambut seluruh hula-hulanya. Jam berapa makan
baru bisa dimulai? Oala.
Kadang saking lamanya menunggu (sesudah menyambut hulahula masih ada
acara pasahathon tudu-tudu sipanganon), orang2 di dekat saya duduk tak
sabaran dan langsung makan sendiri. Saya seringkali salah tingkah. Perut
saya sudah lapar, tetapi posisi saya sebagai “pendeta” apalagi
“berjambang” yang sangat mudah dikenali di ruang publik membuat saya
harus menahan rasa lapar dan tidak ikut2an makan duluan, sebab
sedikit-banyak tingkah saya diam-diam diperhatikan, dan yang jelek-jelek
dijadikan panutan atau pembenaran. Namun orang2 yang kebetulan duduk
semeja dengan saya – dan mengenal saya sebagai pendeta – juga sering
salah tingkah. Mungkin mereka sudah tak kuat lagi dan ingin makan duluan
tapi segan karena saya masih menunggu perintah dari depan. Akhirnya
saya kadang2 keluar saja pura-pura menelpon atau apalah, memberi mereka
kesempatan mengambil keputusan sendiri dengan bebas. Pernah di suatu
pesta berhubung lamanya acara makan dimulai sebagian besar tamu sudah
makan duluan. Pihak suhut meminta saya memimpin doa makan dan saya tolak
dengan halus, namun mereka tetap memaksa, akhirnya saya pun maju dan
berdoa: “Ya Tuhan, berkatlah makanan yang sudah, sedang dan akan kami
makan. Amin”.
Sejak kecil saya tidak doyan cabe, kepala saya langsung gatal2 bila
makan cabe, tentu tidak enak menggaruk-garuk kepala sambil makan di
pesta. Dan celakanya menu pesta batak itu persis sering dianggap seperti
“hukum taurat” yang tidak boleh berubah satu titik pun. Makin lengkap
sajalah penderitaan saya. Biasanya saya hanya mengambil sedikit ikan mas
arsik kering (masakan ibu saya setahu saya arsiknya basah dan durinya
lunak) dan acar yang kayaknya dipotong tanpa perasaan, kemudian kuah
“sup polos” dan sedikit saja sangsang agar saya tidak dikatakan “tidak
tahu adat”. Sambil makan pelan-pelan dibawah tekanan suara speaker, saya
selalu melamun: kapankah saya punya duit yang banyak dan
menyelenggarakan sebuah pesta dengan menu ikan mas goreng panas-panas,
babi panggang serius, sup babi kacang merah diiringi lantunan piano yang
lembut? Namun syukurlah Tuhan memang selalu tidak mau para pendeta
hambaNya yang rendah ini terlalu menderita. Sering2 ada saja anggota
punguan ina atau siapa yang datang ke meja dimana para pendeta dan
sintua duduk menawarkan es puter yang diambilnya dari lantai 2 tempat
parsubang. Lumayanlah sebagai hiburan. (Kadang2 bila ada teman sintua
yang berani atau banyak naposo saya memilih makan di tempat parsubang
saja – undangan tak makan babi – sebab di sana menunya lebih cocok untuk
saya dan suasananya kurang berisik. Tapi kesempatan itu langka.
Namun tak ada yang tak berakhir di dunia ini termasuk pesta Batak.
Sehabis makan, sebagaimana tradisi, adalah giliran memberi tumpak atau
sokongan. Itulah saat yang saya nanti-nantikan. Jika kebetulan tak ada
pendeta yang lebih senior, maka para sintua akan mendorong saya untuk
maju duluan. Saya pun berjalan tenang sambil senyum-senyum. Suhut tampak
gembira menerima salaman para undangan dan saya pun gembira menyalamkan
tumpak saya kemudian berjalan mantap ke luar gedung pesta batak
merayakan kembalinya kebebasan dan kenikmatan hidup saya.
Horas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar